Skinpress Rss

Jumat, 19 Oktober 2012

Back To December

0


Tittle : Back To December

Author : Tafunazasso

Cast :

Im Yoon Ah

Lee Donghae

Genre : Romance

Length : One Shoot

Warning :

Terinspirasi dari lagu Taylor Swift “Back To December” dan SNSD “Time Machine”. Mengandung banyak Flashback dan pastinya masih sebuah FF abal yang dibuat oleh author abal pula. Happy Reading ^^ Don’t forget to leave some comment for me ^^

Maybe this is wishful thinking,
Probably mindless dreaming,
But if we loved again, I swear I’d love you right.
-Back To December by Taylor Swift-

ooo

Aku kembali merapatkan syal dan mantel di tubuhku untuk menghalangi angin musim dingin yang akan menyerangku secara langsung. Namun hawa dingin tetap terasa merasuki setiap inchi tulangku tanpa ampun. Ingin rasanya aku menghentikan langkahku dan kembali berbalik menuju hotel tapi aku tidak boleh berhenti atau pun menyerah. Sudah lama aku mempersiapkan diri untuk hari ini dan aku tak mau semuanya menjadi sia – sia hanya karena ketakutan yang sudah kualami selama beberapa tahun ini kembali lagi. Kurogoh saku mantel-ku dan kuangkat sebuah kartu yang berisikan alamat sebuah tempat. Tempat yang akan kukunjungi hari ini.



Langkahku terhenti ketika mendengar suara lonceng yang sangat familiar di telingaku. Suara lonceng sekolah. Aku berjalan mengikuti arah suara tersebut dan kini aku telah berdiri di depan pagar sebuah bangunan besar. Tepat setelah lonceng berhenti berbunyi, seluruh murid di sekolah mulai berlarian keluar dari sekolah. Mereka terlihat sangat bahagia dan penuh canda. Sudut bibirku tertarik ke atas ketika melihatnya. Aku kemudian melangkahkan kaki melewati gerbang yang sudah terlihat rapuh dan penuh dengan karat di setiap sudutnya. Kaki-ku terus bergerak dan berhenti saat aku telah sampai di depan salah satu kelas.

Tanganku bergerak untuk meraba pintu kayu berwarna coklat yang tertutup di depan kelas. Terdengar derik engsel pintu ketika tangaku mendorong pelan lapisan kayu tipis tersebut. Mataku menerawang jauh menyusupi setiap sudut kelas tersebut. Semua masih sama, persis sama seperti beberapa tahun lalu saat aku masih duduk di salah satu kursi di tempat ini. Aku meraba salah satu meja yang dulu kugunakan. Bahkan coretan – coretan yang dulu kutorehkan di meja ini pun masih terjaga walaupun sudah sedikit menipis termakan usia. Kubalik badanku dan menatap meja yang tepat berada di sebelah meja-ku. Sebuah senyuman penuh rasa rindu kuberikan pada meja milik lelaki itu. Milik lelaki yang pernah dan masih mengisi hatiku hingga saat ini. Lelaki yang menjadi alasanku untuk mengambil cuti kuliah dan bertolak menuju tanah kelahiranku. Lelaki yang pernah kulukai dan membuatku menyesal walau 5 tahun telah berlalu. Ya, 5 tahun bukanlah waktu yang singkat. Namun bagiku, waktu 5 tahun sangatlah singkat untuk mempersiapkan diriku agar dapat mencari dan bertatap muka kembali dengannya. Perasaan bersalah terus memenuhi rongga dadaku dan kenyataan bahwa aku masih mencintainya justru semakin menambah perasaan menyesalku.

FLASHBACK

“Aku punya kuis untukmu, Rusa.”

Kualihkan pandanganku pada lelaki tampan yang baru saja memanggilku dengan sebutan khas-nya.

“Apa itu, Tuan Ikan ?” Balasku sambil tersenyum tipis ke arahnya. Aku sedikit mendekatkan kepalaku ke arahnya untuk mendengarkan kuis yang akan ia tanyakan.

“Menurutmu apakah Yoon Sung Songsaenim berhasil mendapatkan pasangan di kencan berkelompok tadi malam ?” Ia bertanya dengan volume suara yang sangat pelan serta tak sedikit pun menghadapku. Kepalanya masih terarah lurus menuju Choi Yoon Sung Songsaenim yang sedang serius menulis puluhan huruf di papan tulis.

Aku terkekeh perlahan dan menatap Songsaenim dengan pandangan geli.

“Kupikir tidak, dia hari ini sangat sensitif dan memberi kita tumpukan tugas. Pasti itu karena mood-nya yang memburuk karena tidak mendapatkan pasangan di kencan kelompok.” Aku menahan tawaku agar tidak pecah dan mengundang seluruh perhatian kelas.

“Bingo ! Jawaban yang sangat tepat ! 100 untuk Nona Rusa ! Apakah Anda ingin melanjutkan ke pertanyaan kedua, Rusa ?”
Aku mengangguk bersemangat. Rasa kantuk yang sebelum ini menyerang karena mendengar penjelasan matematika dari Yoon Sung Songsaenim menguap menghilang entah kenapa saat mendengar celetukan dan wajah jahil miliknya.

Dia tersenyum singkat dan mengalihkan tatapannya ke arahku. Tatapan matanya begitu dalam dan penuh makna.

“Apakah Im Yoona akan menerimaku sebagai namjachingu-nya ?”

Aku merasa jantungku sudah mencelos keluar saat itu. Semua rasa membaur menjadi satu di dalam hatiku. Ribuan sayap kupu – kupu saling mengepak di dalam perutku. Aku bahagia, sangat amat bahagia.

Dan sebuah anggukan ringan dariku-lah yang menjadi pertanda dimulainya hubungan kami.

FLASHBACK END

“Permisi Unnie, bisakah Unnie keluar dari kelas ini ? Kami akan membersihkan kelas ini.”

Aku menoleh cepat ke arah pintu dan mataku berpandangan dengan sekumpulan remaja yang sudah membawa berbagai perkakas kebersihan. Sebuah senyum kuberikan pada mereka sebelum aku melewati mereka dan melangkah pergi meninggalkan sekolah penuh kenangan tersebut.

“Rusa dan Ikan.” Aku menggumam tanpa sadar sambil terus melangkah menembus dinginnya angin di kota kelahiranku. Hingga akhirnya langkah kaki membawaku menuju jalanan yang penuh dengan kafe. Aroma kopi menyesak menusuk hidungku. Dan rasa rindu itu lagi – lagi menyerangku. Semua yang ada di kota ini mengingatkanku padanya. Aku sadar bahwa aku sangat merindukannya. Mataku menatap jajaran toko – toko kecil yang menjual berbagai pernak – pernik perhiasan imitasi. Kulangkahkan kakiku dengan mantap menuju salah satu toko bernuansa klasik.

Bel di atas pintu toko itu berdentang pelan saat aku membuka pintu. Wanita muda pemilik toko itu menunduk singkat kepadaku dan kubalas dengan senyuman. De Javu. Tempat ini masih sama. Sama persis seperti saat aku datang ke tempat ini bersamanya. Jari – jari lentik milikku mulai menelusuri setiap barang – barang mungil yang kulewati. Gerakan tanganku terhenti saat jariku menyentuh sebuah benda yang tak asing lagi bagiku. Cincin putih keperakan yang kusentuh bersinar menampakan kilau yang memancing memori itu kembali meledak keluar. Perasaan cinta sekaligus menyesal membuncah memenuhi dadaku dan membuat kerongkonganku terasa seperti tercekik saat aku melihat cincin putih di depanku. Aku tersenyum miris lalu meraba leherku dan mengeluarkan kalung dengan bandul sebuah cincin dari dalam kerah mantel-ku. Ya, dia-lah yang memberikan bandul cincin ini padaku. Cincin yang sudah kehilangan kilauan dan sudah terlalu kecil bagi jari-ku ini masih tetap kubawa walaupun kami sudah tak berjalan bersama lagi. Namun bagiku, cincin yang tak bersinar ini jauh lebih indah daripada cincin – cincin lainnya di dunia ini.

FLASHBACK

1 Tahun sudah kami lewati bersama. Tertawa bersama, mengucapkan kata cinta, bertengkar, saling berteriak, dan tangis sudah banyak kami lewati dalam waktu singkat itu. Aku merasa lengkap bersamanya dan kuharap ia pun merasakan hal yang sama sepertiku. Hari ini dia mengajakku begitu tiba – tiba dan menyeret tubuhku dalam genggaman tangannya. Hingga kami tiba di sebuah toko mungil. Dia hanya tersenyum saat aku mulai bertanya tentang tujuan kami di sini. Tanpa sepatah kata pun keluar, ia mendorongku memasuki toko itu. Suasana klasik dan hawa hangat menerpa tubuhku saat aku melangkahkan kaki memasuki toko klasik tersebut.

“Aku ingin membelikanmu cincin sebagai tanda 1 tahun kita bersama sekaligus sebagai tanda bahwa kamu adalah milikku.” Ia berkata tanpa sedikit pun menatapku. Dengan samar aku dapat melihat semburat merah terlukis di wajahnya. Kurasa semburat merah yang sama juga telah hadir di wajahku ketika mendengar kata – katanya barusan.

“Aissh, kenapa kamu melihatku seperti itu ? Ayo cepat pilih !” Dia mengacak rambut coklatnya dan menggandeng tanganku mendekati rak cincin. Aku tersenyum kecil saat melihat telinganya yang ikut memerah. Sosok punggung itu begitu tegap berjalan di depanku dan tangan besar yang menggenggam tanganku mampu mengalahkan seluruh kehangatan yang ada di dunia ini. Aku sangat mencintainya.

“Aku mencintaimu.” Aku mengucapkannya setengah berbisik seakan tak ingin ada orang lain mendengar kata – kata itu. Hanya dia yang akan mendapatkan kata – kata cinta milikku. Hanya dia, sekarang dan selamanya.

Dia membalik badannya dan menatapku tak percaya.

“Aissh, apa yang kamu katakan, Rusa ? Jangan mengatakan hal memalukan seperti itu di depan umum.” Dia kembali membalikan badan dan berjalan tanpa menggenggam tanganku. Dia berjalan canggung tanpa sedikit pun menatapku.

Sudut bibirku terangkat dan dengan langkah kecil aku mengejarnya lalu meraih tangan besar miliknya. Kuletakan tangan besar itu di sebelah pipiku. Dalam sekejap tangan itu menyalurkan seluruh kehangatannya menjalari wajahku.

Dia tampak terkejut kemudian sebuah senyuman lembut terlukis di wajahnya. “Aku juga sangat mencintaimu, Im Yoona.”

Aku tersenyum lebar dan menurunkan tangan miliknya. Kugenggam tangan itu seakan tak ingin kehilangan kehangatan miliknya.

“Apa aku boleh memilih cincin mana pun yang kumau ?” Tanyaku riang.

Dia tersenyum lebar, “Tentu saja.”

ooo

“Nah. Im Yoona, kemarikan tanganmu.” Dia tersenyum manis sambil mengulurkan tangannya. Salah satu alisnya terangkat dan dagunya bergerak menuju ke arah telapak tangannya yang membuka di depanku seakan meminta tanganku untuk menyambut uluran tangannya tersebut.

Dengan sedikit menekuk dahi aku menjulurkan tanganku dan meletakan tanganku di atas tangannya yang hangat. Rasa hangat itu mengalir dan membuat seluruh angin awal musim gugur yang berhembus menerpa tubuhku juga terasa hangat. Dengan perlahan tangannya membalikan telapak tanganku dan mengeluarkan cincin yang baru saja kupilih. Dia menatap mataku dalam sambil menyunggingkan senyuman.

“Aku akan tetap berada di sampingmu, menjagamu, melindungimu, membuatmu tersenyum, mencintaimu seumur hidupku. Im Yoona, aku sangat mencintaimu melebihi apapun di dunia ini.”

Dalam sekejap cincin itu sudah bersarang di jari manis tangan kiriku. Aku menatap cincin indah itu takjub. Tak ada kata – kata yang dapat mewakilkan perasaanku saat ini. Aku—aku sangat bahagia.

“Maaf, saat ini aku hanya bisa memberikanmu cincin murahan seperti ini. Suatu saat nanti, aku berjanji akan memberikanmu cincin yang sebenarnya.”

Jantungku kembali berdesir karena perkataannya. Cincin yang sebenarnya—bukankah itu berarti dia akan melamarku dan menjadikanku istri-nya ?

“Jangan pernah mengatakan cincin ini adalah cincin murahan ! Aku tidak akan memaafkan siapapun yang menjelek – jelekan cincin ini tak terkecuali kamu ! Cincin ini adalah cincin terindah yang kumiliki karena cincin ini memiliki kilauan yang berbeda. Berbeda karena aku menerimanya dari seorang lelaki yang kucintai dengan sepenuh hatiku.” Aku menyunggingkan senyum lebar padanya yang saat ini sedang menatapku lurus.

“Kamu tahu betapa beruntungnya aku memilikimu ?” Tatapan matanya yang lembut meneduhkan perasaanku dan membuat sebuah senyuman khusus untuknya terpasang di wajahku.

“Seharusnya kamulah yang tahu bagaimana beruntungnya aku memilikimu.” Kata – kata itu meluncur keluar disusul oleh pelukan yang diberikan olehnya. Jarak wajah di antara kami semakin menipis dan terus menipis. Angin dingin musim gugur dan pohon – pohon yang telah menguning-lah yang menjadi saksi ciuman pertamaku saat itu.

FLASHBACK END

Aku berjalan keluar dari toko perhiasan tersebut dan berjalan ringan menuju kafe di dekatnya. Ucapan selamat datang menyambutku ketika aku memasuki kafe mungil tersebut. Sebuah senyuman tipis kusunggingkan sebelum aku melangkah menuju salah satu kursi di sudut ruangan. Kafe ini pun masih sama persis seperti dulu. Meja dan kursi kayu-nya sama sekali tidak berubah. Bahkan tatanan tempatnya masih sama. Hanya ada sebuah perbedaan besar yang kurasakan. Dia tidak ada di sampingku. Perbedaan besar yang membuat sebuah lubang di hatiku selama tahun – tahun terakhir ini. Mataku menatap beberapa anak muda yang saling bercanda di kursi seberang tempatku duduk. Dengan sebelah tangan kutopang kepalaku sambil tetap memperhatikan mereka.

“Tuan Ikan dan Nona Rusa.” Entah kenapa mataku terasa memanas setelah mengatakan hal itu. Tidak ! Aku tidak boleh melemah ! Ayolah Im Yoona ! Jangan menangis atau semua akan rusak. Aku menepuk pelan kedua pipiku dan dalam waktu beberapa detik aku menarik sudut bibirku ke atas. Membuat sebuah senyuman untuk mengganti air mata.

“Permisi, apakah Anda sudah menentukan pesanan ?” Sebuah suara mengalihkan perhatianku.

“Ah, Ne.” Aku menatap daftar pesanan di tanganku dan dengan jari telunjuk kutelusuri setiap huruf yang tertulis di atasnya.

“Hot Chocolate and Mint.”

Pelayan tersebut meninggalkan mejaku setelah menulis pesanan dan mengatakan agar aku menunggu pesananku.

Angin musim dingin kembali berhembus memasuki sela – sela ventilasi kafe. Rambut gelapku pun berkibar karenanya. Aku memejamkan mataku dan merasakan sensasi menggelitik angin di wajahku. Seiring dengan terpejamnya mataku, sebuah memori yang berlatarkan kafe ini berputar di kepalaku.

FLASHBACK

“Aku akan kuliah di Inggris.” Dia berkata dengan nada datar hampir tanpa intonasi.

Terang saja aku tersedak cokelat panas yang sedang kuminum saat mendengarkan pernyataan miliknya barusan. Kuletakan cangkir minumanku di atas meja dengan tangan sedikit bergetar. Apa pendengaranku sudah rusak ? Aku mencoba menajamkan dan mencerna kembali kata – kata yang baru saja keluar dari bibirnya.

“Apa yang kamu katakan barusan ?” Tanyaku sambil tetap mencoba tenang.

“London. Aku akan kuliah di sana.” Dia tersenyum dan hal itu membuatku merasa sakit.

Aku membasahi bibirku yang tiba – tiba terasa kering. “K—Kukira ini bukan candaan yang lucu.” Sebuah tawa datar coba kulayangkan untuk mencairkan suasana dingin yang mulai menyusup di antara kami.

“Ini bukan candaan, Im Yoona. Aku serius. Aku mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan kuliah seni-ku di Oxford. Bukankah itu hebat ?” Dia berteriak girang sambil mengepalkan tangannya.

Aku meremas kuat – kuat rok yang kukenakan. Air mataku bisa saja meluncur tapi kutahan semampuku. Oxford University adalah impiannya dan sekarang dia telah mendapatkan mimpi itu di tangannya. Tangisanku bisa merusak segalanya dan aku tak ingin senyuman lebarnya menghilang karena aku. Sekuat tenaga aku mencoba mengangkat kepalaku untuk mengucapkan selamat padanya tapi…semua terasa begitu berat.

“Im Yoona ?” Dia mulai memanggilku dengan nada khawatir yang tersirat jelas.

Aku menarik nafas sepanjang mungkin dan dalam satu hembusan kulepaskan semuanya. Kuharap hembusan nafas barusan dapat membawa seluruh perasaan berat di dadaku dan membuatku dapat tersenyum tulus padanya. Tapi, hal itu tidak berguna. Dadaku masih terasa sesak.

“Im Yoona ?” Panggilnya lagi.

Kupejamkan mataku dan dalam sekali gerakan kuangkat kepalaku. Sebuah senyuman yang kubuat se-alami mungkin kuberikan padanya.

“Chukae, Tuan Ikan ! Kamu hebat !” Aku bertepuk tangan di depannya dan dengan jelas aku dapat melihat seluruh kekhawatiran yang dimilikinya mendadak menghilang saat melihat senyumku. Ya, aku harus tetap tersenyum dan berhenti membuatnya mengkhawatirkanku.

Dia kemudian menarik kedua tanganku agar wajah kami saling mendekat. Tatapan matanya yang teduh menyelidik setiap sudut mataku.

“Ya, aku memang merasa sangat bahagia saat ini tapi aku akan jauh lebih bahagia jika kamu tidak menangis dan kesepian ketika aku pergi. Im Yoona, sejujurnya aku belum membuat keputusan dengan pasti apakah aku akan pergi atau tidak. Semua keputusan itu ada di tanganmu. Kamu adalah yang terpenting bagiku dan aku rela kehilangan hal ini asalkan kamu tidak menangis. Oxford memanglah mimpiku tapi kamu jauh lebih berharga dari itu. Dengan pasti aku tidak akan pergi jika kamu mengatakan aku tidak boleh pergi. Jadi, kamu boleh memilih apakah aku harus pergi atau tidak ?”

Aku terkesiap. Dia begitu memikirkan perasaanku. Hatiku terus mendukung untuk mencegahnya pergi namun akal sehatku berkata agar aku membiarkannya pergi untuk menggapai mimpinya. Dan akal sehatku menang.

“Kamu boleh pergi. Gapai impianmu, aku di sini selalu menunggumu.”

FLASHBACK END

Lamunanku terhenti ketika seorang pelayan meletakan cangkir di atas mejaku. Kualihkan pandanganku pada pelayan itu dan kusunggingkan sebuah senyuman tipis sebagai tanda terima kasih. Dengan pelan kuangkat cangkir di depanku dan mengisap aroma dari dalam sana hingga memenuhi rongga paru – paruku. Harum cokelat yang begitu manis dan mint yang begitu menyegarkan membuat perasaanku membaik. Kusesap pelan cairan panas itu dan sebuah senyuman muncul di wajahku. Semua beban berat yang ada di pundakku serasa menguap. Keberanianku serasa kembali terkumpul. Aku sangat membutuhkan keberanian untuk hari ini. Karena hari ini adalah penentuan. Aku akan menemui kembali lelaki itu setelah bertahun – tahun kami kehilangan benang komunikasi kami.

ooo

Ucapan terima kasih mengiringi langkahku keluar dari kafe mungil itu. Aku kembali melangkah menyusuri jalanan. Hingga aku kini berada di suatu tempat yang juga mengingatkanku padanya. Stasiun kereta api. Suara gesekan rel dan roda kereta api langsung menyerang indera pendengaranku. Dengan langkah lebar aku melangkah memasuki bangunan antik itu. Langkahku terhenti tepat saat sebuah kereta api dengan cepat berjalan lurus di depan mataku. Persis sama seperti kejadian saat ia meninggalkanku. Kereta api yang membawanya pergi begitu cepat di depan tubuhku. Walau aku berusaha namun langkah kakiku tetap tak bisa mengejarnya.

FLASHBACK

“Jangan lupa untuk menjaga kesehatan ! Makan teratur ! Jangan lupa mengirimiku E-mail ! Satu lagi ! Jangan jatuh cinta pada gadis Inggris !”

Dia terkekeh pelan mendengar nasehatku yang kuakui memang terkesan konyol.

“Ne, ne. Arraseo, Umma.” Dia tersenyum lembut padaku.

Aku tersenyum untuk membalas senyumannya. Ini adalah saat terakhir kami dan aku tidak boleh menangis. Walau hatiku terasa sesak menahan tangis tapi tak ingin melepaskan tangisanku dan membuatnya khawatir. Sebuah pengumuman mengatakan kereta api yang akan ditumpanginya akan datang 15 menit lagi membuat dadaku semakin sesak.

Perlahan namun pasti pandanganku mulai mengabur karena air mata telah menyeruak keluar dari dalam sana. Aku berusaha mengalihkan tatapanku darinya dengan memalingkan wajahku namun itu semua sia – sia. Dia sudah melihatku dan air mataku.

“Tidak mau memelukku ?” Tanyanya ringan sambil membuka tangannya.

Aku mengangkat kepalaku dan mengangguk pelan. Dengan cepat tanganku merengkuh tubuhnya. Aku dapat merasakan sentuhannya di belakang kepalaku. Kubenamkan sedalam mungkin wajahku di dada bidang miliknya. Dan tangisku pecah di sana. Pelukannya semakin mengerat saat dari kejauhan suara kereta api mulai mendekat. Dalam waktu lama mungkin aku tidak akan merasakan pelukan hangat miliknya lagi, aku tidak akan mencium aroma segar miliknya lagi, aku tidak akan menatap mata teduh itu lagi dan itu semua membuat air mataku semakin membuncah.

“Aku sangat mencintaimu.” Aku dapat merasakan suaranya yang sedikit bergetar.

Kutarik nafasku dan dalam sekejap kuangkat kepalaku untuk menatap wajahnya. “Aku pun juga sangat mencintaimu.” Dengan sebuah senyuman tulus kukatakan hal itu padanya seakan meyakinkannya bahwa aku akan baik – baik saja.

Dia tersenyum lembut padaku dan dalam hitungan sekian detik dia menempelkan bibirnya pada bibirku. Aku dapat merasakan rasa cinta yang begitu besar dari bibirnya. Dan air mataku kembali menetes.

“Jaga dirimu baik – baik,” ucapnya setelah melepas ciuman singkat itu.

Aku mengangguk dalam diam.

“Jangan lupakan aku,” lanjutnya.

Aku tak bisa lagi mengangguk hanya menangis yang bisa kulakukan.

“Aku mencintaimu. Kamu perlu tahu itu.”

Tanganku kembali merengkuh tubuhnya. Aku tak dapat mengontrol segalanya. Aku benar – benar ingin mengantarnya pergi dengan senyuman tapi semua gagal. Ini ribuan kali lipat lebih sulit dari yang kubayangkan.

Pengumuman bahwa kereta yang akan ia tumpangi akan segera berangkat membuat tanganku harus melepas dirinya. Dia tersenyum tapi secara samar aku dapat melihat setitik bening di sudut matanya.

“Aku pergi,” ucapnya.

Dengan sebelah tangan kubungkam mulutku untuk mengurangi sesenggukan tangisku.

Sebelah tangannya mengacak rambutku dan ia mengecup dahiku lembut. Begitu lembut dan perlahan.

“Jangan menangis, kumohon.” Dia tersenyum getir padaku.

Dan sebuah senyuman tersungging dari bibirku. “Aku tidak akan menangis lagi, aku berjanji.”

Aku merasa nyawaku ikut tertarik ketika melihat punggungnya berjalan menjauh menuju gerbong kereta api. Bahu yang biasanya terlihat kokoh itu sekarang terlihat bergetar dan rapuh. Dia menangis.

Tanpa menoleh, dia berjalan memasuki gerbong. Tepat setelah sosoknya memasuki gerbong, pintu geser itu tertutup. Suara yang menandakan kereta api akan berangkat sudah mengalun keras memenuhi sudut stasiun.

Kakiku terasa bergerak dengan sendirinya untuk mengejar kereta api yang mulai berjalan. Air mata sama sekali tidak berhenti menetes dari mataku. Seperti orang gila aku mengejar kereta api yang membawanya. Aku pun sadar jika langkahku tidak akan dapat mengejar kecepatan kereta api tapi aku…aku hanya ingin mengatakan hal ini. “JEONGMAL SARANGHAE !” Teriakku.

Kakiku terasa lemas saat ekor kereta api telah melewatiku. Aku jatuh terduduk di atas lantai stasiun dan menatap kereta api yang membawanya mulai mengecil dan menjauh.

FLASHBACK END

Kujatuhkan tubuhku di atas salah satu kursi panjang stasiun. Aku membekap mulutku untuk mengurangi suara sesenggukan tangisku. Kupejamkan mataku dan bayangan itu terus menghantuiku. Setelah kepergiannya, semua terasa sangat berat. Hanya sesekali aku mendapatkan kabar darinya. Itu pun hanya sekedar kabar yang mengatakan dia baik – baik saja dan e-mail singkat lainnya. Sudah pasti dia lebih sibuk dengan kuliahnya dibanding mahasiswa lainnya karena ia adalah murid beasiswa dan aku mencoba memahaminya. Namun semakin lama, hubungan kami seperti terputus. Aku yang selalu menulis e-mail untuknya sama sekali tidak mendapatkan balasan. Saat – saat itu aku merasa hancur dan terbuang. Hingga aku bertemu dengannya, bertemu dengan lelaki yang sempat membuatku terlena dan membuatku hampir berhianat.

FLASHBACK

“Choi Siwon imnida.” Lelaki manis dan tinggi itu menjulurkan tangannya di depanku.

Aku menekuk alis. “Emm…Im Yoona,” ucapku sambil menyambut tangannya.

“Senang berkenalan denganmu, Yoona-ssi.” Dia membungkuk ringan.

“Ya, aku pun begitu,” ucapku nyaris tanpa intonasi.

Lelaki aneh itu kemudian mengambil tempat duduk di sebelahku. Aku memutar pelan bola mataku. Kurasa masa – masa kuliahku akan dipenuhi olehnya. Aku bukanlah gadis bodoh yang tidak mengerti tentang gelagat yang diberikan oleh lelaki. Aku mengerti betul bahwa lelaki di sebelahku ini menyukaiku. Dan sepertinya dia bukanlah lelaki yang akan mundur dengan gampang.

Tapi semua tebakanku pada Siwon sebagian salah. Dia bukanlah lelaki aneh. Siwon justru sangat cocok denganku. kami bisa bercerita dengan bebas dan banyak kemiripan yang kami miliki. Hari – hariku penuh dengannya dan senyumannya. Aku tidak dapat mengatakan kalau aku membencinya dan seluruh sikap yang dia berikan padaku tapi aku juga tak bisa mengatakan aku mencintainya. Entahlah, aku hanya merasa nyaman dan berada di atas awan saat bersamanya.

Hubungan kami benar – benar transparan dan tidak bernama. Kami lebih dekat dari sekedar teman namun tak ada ikatan cinta yang gamblang di antara kami. Singkatnya, kami bukanlah sepasang kekasih namun kami selalu ada untuk satu sama lain.

ooo

For   : Mrs Deer

Title : I Miss You

Hi My Deer ! Jal jinaeyo ?

Maaf akhir – akhir ini aku tidak bisa membalas E-mail darimu, aku benar – benar sibuk dengan segala prosedur merepotkan kuliahku. But, i have a good news for you, Yoong~ I will back to Hankuk in winter holiday ! Aku benar – benar tidak sabar untuk bertemu denganmu…Aku akan sampai di sana sekitar pertengahan November dan akan kembali pada pertengahan bulan Januari. Ah—i really can’t wait to see you~ Bogoshipo Yoong~

With all my love, Mister Fishy.

ooo

Hari ini aku benar – benar tak bisa menghilangkan senyum dari wajahku. Dia akan kembali ! Kami akan kembali bertemu !

“Pagi,” ucapku pada semua orang di dalam ruangan kuliah.

Beberapa dari mereka membalas sapaanku dan sisanya cukup tersenyum padaku. Aku menaruh tas di atas meja tepat saat Siwon memasuki kelas. Sebuah senyuman manis kuberikan padanya saat ia berjalan ke arahku.

“Kenapa dengan wajahmu itu ?” Tanyanya sekilas sambil meletakan tubuhnya di atas kursi.

“Tak ada apa – apa. Aku hanya sedang bahagia.” Bahagia karena Tuan Ikan, tambahku di dalam hati.

“Baguslah kalau begitu. Oh, apa kamu sudah mengerjakan tugas yang diberikan Lee Songsaenim ?” Dia mengangkat kedua alis gelapnya.

“Tugas Lee Songsae…Omona, aku lupa !”

Aku ingat tadi malam setelah membaca E-mail darinya, aku langsung berangkat tidur dan melupakan semua tugasku. Kubuka tas kecil milikku dan mengeluarkan sebuah buku besar beserta bolpoint. Kemudian dengan wajah memelas aku menatap Siwon.

“Kumohon~ Boleh aku mencontek tugasmu ?” Aku melipat kedua tanganku di depannya.

Walau pelan tapi aku dapat mendengar kekehan milik Siwon disusul dengan sebuah buku yang meluncur di atas mejaku.

“Tulislah secepat mungkin sebelum dia masuk.” Lelaki tampan itu menunjukan lesung pipitnya.

“Ahh ! Gomawo, Siwon-ah !” Dengan cepat kubuka buku miliknya dan menjiplak semua yang tertulis di sana.

ooo

“Saya sudah memeriksa tugas yang kalian kumpulkan tadi dan saya menemukan beberapa anak yang tugasnya persis sama. Kalian pasti sudah tahu prinsip yang saya pegang, bukan ? Saya justru lebih menghargai seseorang yang bodoh namun jujur daripada orang yang berpredikat pintar hasil dari mencontek. Karena itu saya akan memanggil nama – nama yang tugasnya persis sama dan ada hukuman yang menunggu mereka.”

Aku menelan ludahku saat mendengar perkataan dari Lee Songsaenim. Sudut mataku menatap Siwon yang duduk di sebelahku dan ia terlihat datar seperti biasa. Suara menggelegar milik Dosen tua yang terkenal akan kekejamannya membuatku tegang. Beberapa orang yang dipanggil namanya sudah terlihat pucat saat berjalan menuju depan kelas untuk menunggu hukuman mereka. Kumohon, jangan aku.

“Im Yoon Ah, Choi Siwon.” Telak. Saat mendengar ia memanggil namaku dan nama Siwon kaki-ku terasa melemas. Sudut mataku kembali menatap Siwon yang masih terlihat datar. Tidak, akulah yang mencontek dan Siwon sama sekali tidak salah. Ini harus kujelaskan. Aku menghela nafasku dan mulai membangkitkan diri berjalan menuju depan kelas. Namun, sebuah tangan menghalangi jalanku dan mendorongku pelan hingga kembali terduduk. Dari tempat dudukku dapat kulihat sebuah punggung kokoh yang berjalan menghadap Lee Songsaenim. Punggung seorang Choi Siwon.

“Aku yang memaksa Im Yoon Ah untuk memberikanku contekan. Dia tidak bersalah.” Suaranya terdengar begitu ringan.

Dari kejauhan Dosen itu melihatku dengan tatapan menyelidik. “Baiklah, dia tidak akan saya hukum. Kalian semua, ikut saya ke ruang guru !”

Sampai saat ini pun aku masih tak mempercayai tatapanku. Dia…berbohong. Sekilas aku dapat melihat Siwon tersenyum menenangkan ke arahku sebelum ia keluar dari ruangan mengikuti Lee Songsaenim.

ooo

Ku ketukan ujung sepatuku pada tanah. Kembali mataku menatap jam tangan berwarna pink di tanganku. Sudah 2 jam dia di dalam. Aissh, sebetulnya apa yang terjadi di dalam sana ? Aku menyandarkan tubuhku pada bangunan ruang guru dengan pikiran penuh akan Choi Siwon dan segala kebaikannya. Apa aku harus masuk dan mengakui semuanya ? Aih, apa yang harus kulakukan ? Kuacak pelan rambutku tanda kekesalan.

Suara pintu yang dibuka sontak mengalihkan perhatianku. Dari dalam ruangan, aku dapat melihatnya keluar. Kakiku segera melangkah mendekatinya dan berdiri tepat di depannya. Dia segera menghentikan langkahnya dan tersenyum padaku. Kuperhatikan dirinya dengan penuh ketelitian. Aku tidak melihat luka atau hal aneh apapun di tubuhnya dan itu berarti dia tidak mendapatkan hukuman fisik.

“Aku baik – baik saja, Im.” Dia mengacak pelan rambut panjangku dan nyaris membuat jantungku keluar. Aku memang sangat suka sentuhan di kepalaku dan dia adalah orang kedua yang bisa membuatku merasa berdesir setelah Tuan Ikan.

“Jadi…tidak ada hukuman ?” Tanyaku.

“Kami…di dalam sana diberikan puluhan soal untuk dijawab dan jika skor kami tidak mencapai 8 kami tidak boleh keluar.”

Aku mengangguk pelan. Mungkin kalau aku ada di dalam sana, aku tidak akan keluar untuk selamanya.

“Dan, aku berhasil di percobaan pertama dengan skor 9,” tambahnya.

Yah, dia memang pintar dan tak dapat disepelekan dalam urusan sekolah. Tapi bukan ini hal yang seharusnya kami bahas…

“Kenapa kamu berkata seperti itu pada dia ?” Tanyaku.

“Maksudmu kenapa aku mengaku seperti itu pada Lee Songsaenim ?”

Aku mengangguk cepat dan dia terlihat tersenyum.

“Karena aku ingin melindungimu. Karena aku mencintaimu, Im Yoona.”

ooo

Aku menatap setiap orang yang keluar dari kereta api di depanku. Mencari sosoknya di dalam puluhan penumpang lain bagiku adalah hal yang menyenangkan. 2 Tahun tidak bertemu bukanlah waktu yang singkat dan mudah untuk dilalui. Aku sangat merindukannya.

“Tebak siapa ?” Sepasang tangan besar menutupi mataku dari belakang. Aroma mint segar menguar dari belakangku. Aroma yang sangat kurindukan. Suaranya masih terdengar sama. Suara yang selalu ingin kudengar 2 tahun terakhir ini. Wajahku terasa memanas namun kugigit bibir bagian bawahku untuk menghindari butiran bening itu turun dan merusak pertemuan ini.

“Tuan ikan. Aku tahu itu kamu.” Kurasakan suaraku bergetar.

Dia melepas tangannya dan berjalan menghadapku. “Tebakan benar.” Melihat senyumannya membuat seluruh nyawaku kembali terkumpul.

“Aku pulang, Rusa.” Dia memelukku begitu tiba – tiba dan begitu lembut. Pelukan yang selalu membuatku hangat hingga mengeluarkan air mata.

“Bogoshipo~” ucapku pelan.

“Ne, nado,” balasnya.

Ia melepas pelukannya padaku dan membuatku sedikit kecewa. Namun kekecewaanku perlahan menghilang saat tangannya menggenggam tanganku dan menyalurkan kehangatan yang ia miliki pada seluruh tubuhku. Dapat kurasakan bibirku yang tertarik dan membentuk sebuah senyuman karena hal sederhana ini. Hal sederhana yang mampu membuatku melayang.

“Jadi…kita akan kemana sekarang ?” Tanyaku.

Dia terlihat mengetuk keningnya. Kebiasaan mengetuk kening saat ia berpikir ternyata sama sekali belum berubah.

“Sebaiknya aku menemui orang tuaku dan mengambil mobil lalu kita akan jalan – jalan, otte ?”

Aku mengangguk cepat. Dapat kurasakan sentuhan hangat tangannya menyentuh rambutku dan mengacaknya pelan.

“Ayo pergi !” Dia menarik tanganku dan mengajakku berjalan di sebelahnya.

ooo

Kembali ponselku berdering dan menampakan nama yang sama. Choi Siwon. Dia benar – benar….

“Apa dia yang menelponmu lagi ?”

Kuarahkan pandangan mataku pada dia yang sedang duduk di belakang kemudi mobil. Aku dapat melihat rahangnya yang mengeras tanda ia sedang dalam emosi. Helaan nafasnya yang berat semakin meyakinkanku akan kemarahannya.

“Apa peringatanku belum cukup ? Dia gila.”

“Sudahlah. Biar aku yang bicara dengannya besok,” leraiku mencoba menenangkannya.

“Lelaki seperti dia tidak akan diam hanya dengan bicara, Im Yoona.”

Dia memanggil nama lengkapku dan itu adalah pertanda kemarahannya sudah meluap tinggi. Kuletakkan kedua telapak tanganku di sebelah tangannya yang lepas dari setir mobil.

“Do you trust me, mister fish ?” Tanyaku lurus dengan suara selembut mungkin.

Ia mengalihkan kepalanya dan menatapku dalam lalu disusul sebuah senyuman di bibirnya.

“Tentu aku percaya padamu. Maaf, sudah membentakmu. Aku hanya benar – benar emosi karena lelaki gila itu memelukmu di depan mataku. Kamu adalah gadisku dan aku tidak terima pada perbuatannya itu. Tapi, seharusnya aku tidak marah padamu. Maaf.”

Aku tersenyum lagi. Terkadang ia bisa menjadi seorang anak – anak namun ada kalanya ia benar – benar menjadi dewasa, dan sifatnya yang seperti itulah yang membuatku mempercayakan hatiku padanya.

“Dia…Siwon maksudku sebetulnya…sudah menyatakannya padaku seminggu yang lalu dan aku belum menjawabnya…aku mencoba menghindarinya—terus menghindarinya. Ku—kurasa dia sudah benar – benar marah dan kecewa padaku saat melihatmu menjemputku hari ini. Hingga kejadian itu terjadi—dia memelukku di depanmu.”

“Jadi dia…aissh, aku benar – benar gila saat ini. Baru sebentar aku meninggalkanmu di sini dan saingan baruku sudah menjamur ?”

Aku terkekeh pelan. “Seharusnya kamu bahagia karena memiliki kekasih secantik aku.”

Dia mendesah geli, “Dasar merepotkan.”

ooo

“Bisakah kamu berhenti mengganggu gadisku ?” Tanyanya lurus saat ia merasa permintaan lembut dariku sama sekali tidak berpengaruh untuk Siwon.

“Mencintainya adalah hak-ku. Ini adalah perasaanku dan tak ada yang bisa melarangnya.”

Kuhela nafasku sedalam mungkin. Kutatap dia yang berdiri di sampingku. Tangannya terkepal erat di kedua sisi tubuhnya.

“Choi Siwon, kumohon. Aku—aku tak akan bisa membalas kebaikanmu dan…perasaanmu. Semua hanya sia – sia.”

Dapat kulihat lesung pipi di wajahnya, “Tidak ada yang sia – sia dalam cinta, Yoona. Kau harus tahu itu.”

Tanpa sedikit pun menatap lelaki di sampingku, ia berbalik dan pergi meninggalkan kami yang berdiri terpaku.

ooo

Butiran salju menghujani Bumi tanpa ampun. Dan aku termasuk dari salah satu yang dapat merasakan butiran lembut itu turun secara langsung mengenai kulitku. Kupejamkan mataku di tengah salju seakan mengharapkan salju dapat menghapus luka di hatiku. Setetes hangat turun dari mataku dan mengalir lembut di pipiku. Kami bertengkar dan ini bukan sekedar pertengkaran kecil seperti biasa. Dia memarahiku, membentakku ketika melihat aku berjalan bersamanya. Berjalan bersama Siwon. Dia sama sekali tidak melihat aku yang tengah bersusah payah menopang tubuh Siwon yang tengah demam. Dia tidak melihat tangan Siwon yang melingkar di pundakku merupakan pertanda lelaki itu tidak dapat mengangkat tubuhnya sendiri. Dia tidak mempercayaiku. Aku hanya ingin mengantar Siwon yang terlihat lemah menuju rumahnya tapi ia justru mengira aku sedang berjalan bersama lelaki itu. Dia membentakku dan tidak mendengarkan semua penjelasanku. Setiap bentakan darinya menggores hatiku. Dan aku yakin goresan yang dihasilkan olehnya sudah pasti memenuhi hatiku.
Angin musim dingin menghembuskan pelan rambutku. Apa ini adalah akhir ? Kulangkahkan kaki-ku secepat mungkin menerobos orang – orang di depanku. Angin yang menerpa wajahku membawa air mataku bersama hembusannya. Semua yang ada di depanku terasa berkabut dan abu – abu. Terus aku berlari berharap angin akan membawa pergi air mataku. Berharap angin dapat menghilangkan kesedihanku.

ooo

7 hari telah berlalu dan kami belum bertatap muka sekali pun semenjak hari itu. Beratus pesan dan telepon telah ia sampaikan padaku tapi tak ada sedikit pun keinginanku untuk membalasnya. Dari beberapa pesan, dia mengatakan bahwa ia sudah mengetahui apa yang terjadi sebenarnya pada hari itu. Maaf, itulah inti dari setiap pesan – pesannya.

Aku dapat mendengar keributan dari orang – orang di luar flat-ku. Keributan orang – orang yang sedang menyambut tahun baru. Ya, 31 Desember, hari ini, hari yang sudah kutunggu bahkan sebelum ia datang. Hari yang kurencanakan dengan sepenuh hati. Hari yang kurencanakan akan kuhabiskan bersamanya. Dan semua rencana itu menguar tak bersisa.

Ponsel yang kugenggam berdering nyaring dan menampakkan nama penelpon di layarnya.

Choi Siwon calling…

Kuhela nafasku berat dan kutekan tombol hijau di sebelah layar.

“Yoboseyo,” ucapku setelah menempelkan ponsel di sebelah telingaku.

“Im Yoona ? Apa yang kamu lakukan ? Temui dia ! Dasar bodoh ! Apa kamu tahu setelah kejadian itu dia terus menunggumu di depan gerbang universitas ?”

Aku terkesiap, “Dia ?”

“Ya, dia ! Kekasihmu itu ! Aku sudah menjelaskan semuanya ! Cepat temui dia, dasar bodoh !”

“Aku tidak bisa, ini terlalu sulit, Siwon.” Kembali air mata menetes dari mataku.

“Awalnya aku merasa dia masih sama seperti 2 tahun lalu tapi aku salah, dia sudah seperti orang asing. Aku merasa aku sudah tak mengenalnya.”

“Im Yoona ! Demi Tuhan, aku yakin kamu juga pasti tahu dia selalu mengunjungi flat-mu bukan ? Dia mencintaimu, Im. Pergilah sekarang temui dia di stasiun. Aku tak mau kamu menyesal.” Ponselku langsung menunjukan nada datar tanda ia memutuskan hubungan telepon kami.

“Stasiun ?”

Dengan cepat aku memeriksa pesan – pesan yang belum sempat kubaca. Mataku membelalak saat membaca pesan terakhir darinya.

­From : Tuan Ikan

Aku kembali akhir tahun ini. Semua kembali aku serahkan padamu. Jika kamu memaafkanku dan bersedia hubungan kita berlanjut, datanglah ke stasiun tapi kamu boleh tidak datang dan menyerah pada hubungan kita. Apapun keputusanmu, aku tetap mencintaimu, Yoona. Kereta api-ku akan berangkat jam 2 siang. Aku menunggumu.

ooo

Jam tanganku telah menunjukan pukul dua kurang lima belas menit dan jantungku berdetak tidak karuan karena tetap tak bisa menemukannya di hiruk pikuk stasiun. Hampir aku bersorak saat akhirnya mataku melihat sosoknya yang sedang membelakangiku. Sejenak kupandangi sosoknya. Rambut kecokelatannya, bahu lebarnya, tangan besarnya, aku pasti akan merindukannya. Kuhapus air mata yang mulai menggenang di pelupuk mataku. Aku melangkahkan kaki mantap mendekatinya. Saat tubuhku sudah berdiri sejajar dengannya, kusikut pelan rusuknya. Dia menatapku dengan pandangan penuh kekagetan. Dilepaskannya segala tas dan barang bawaannya lalu kedua tangannya yang sudah kosong memelukku erat. Dadaku kembali sesak saat tanganku membalas pelukannya. Tidak. Aku tidak boleh menangis.

And then the cold came, the dark days when fear crept into my mind
You gave me all your love and all I gave you was “Goodbye”

“Aku datang karena aku memaafkanmu, aku datang sekaligus mengatakan…hubungan kita tidak bisa berlanjut.”

Dapat kurasakan pelukannya yang melonggar dan melepaskanku. Dia mencengkram pundakku dan menatapku lurus.

“Aku tidak bisa. Hubungan jauh ini membuat kita tidak mengenal satu sama lain. Kepercayaan adalah satu hal yang sangat penting bagi hubungan. Tapi, Jarak di antara kita telah menelan kepercayaan itu. Hubungan kita tidak bisa berlanjut.”

Dia memejamkan matanya singkat dan saat kedua matanya terbuka, aku dapat melihat selaput bening menyelimuti matanya.

“Aku mengerti. Ini adalah akhir, bukan ?” Dia menarik nafasnya yang terkesan berat.

Kembali ia memelukku. Dan aku tak dapat menahan tangisanku. Aku menangis di dada bidangnya.

“Aku mencintaimu, Rusa.”

Dia sudah sering mengatakan hal itu dan aku pun sudah terbiasa menjawabnya dengan kalimat yang sama tapi kali ini leherku serasa tercekik dan tak bisa mengeluarkan sepatah kata pun dari dalam sana. Tak ada jawaban yang kuberikan padanya.

“Jaga dirimu baik – baik. Kuharap kau menemukan lelaki yang bisa melindungimu dan ada di sampingmu setiap saat.” Suaranya terdengar parau.

Kemudian sosoknya menghilang ditelan oleh gerbong kereta api. Dia pergi meninggalkanku dan sejuta kenangan kami pada musim dingin. Aku dapat merasakan musim dingin pada tahun itu menjadi musim paling dingin yang kurasakan seumur hidupku.

FLASHBACK END

I miss your tanned skin, your sweet smile,
So good to me, so right
And how you held me in your arms that September night
The first time you ever saw me cry.

Maybe this is wishful thinking,
Probably mindless dreaming,
But if we loved again, I swear I’d love you right.

I’d go back in time and change it but I can’t.
So if the chain is on your door I understand

Setelah itu, hubunganku dan Siwon sama sekali tidak berlanjut. Kami tetap teman biasa. Namun, hatiku terasa seperti berlubang setelah ia pergi. Aku merasa ada potongan yang menghilang di dalam sana. Ya, potongan itu adalah dirinya. Aku menyadari bahwa aku sangat mencintainya melebihi yang kutahu. Dan aku menyesal. Aku memang salah dan gegabah. Dan aku ingin bersamanya kembali. Penyesalan ini datang karena kesalahanku. Karena keegoisanku, aku kehilangan dirinya.

Semenjak aku sadar tentang perasaanku padanya kukumpulkan seluruh keberanianku untuk menemuinya. Hingga hari ini adalah saatnya. Hari ini aku akan bertemu dengannya berbekal kartu alamat galeri miliknya. Di hari ini, 31 Desember, hari dimana kami tepat 5 tahun berpisah, aku menemuinya.

Kulangkahkan kakiku semantap mungkin menuju gedung galeri klasik yang alamatnya tertera pada kartu di genggaman tanganku. Dapat kurasakan keringat dingin mengalir di pelipisku. Ingatan tentang kesalahanku padanya bermunculan satu persatu seiring langkah kakiku mendekati pintu galeri. Aku yang lupa mengucapkan ucapan selamat di saat ulang tahunnya, aku yang tidak mengangkat telepon dini hari darinya saat ia mau menjadi orang pertama yang mengucapkan selamat ulang tahun padaku, aku yang selalu marah dan melampiaskan segala emosiku padanya, aku yang meninggalkannya, aku yang tidak membalas ucapan cintanya di saat terakhir, dan aku yang menyesal karena telah melakukan itu semua padanya. Dia tetap tersenyum dan menyayangiku meski pun aku telah memperlakukannya seburuk itu.

Maybe this is wishful thinking,
Probably mindless dreaming,
But if we loved again, I swear I’d love you right.

Kupejamkan mataku dan kutarik nafas untuk menenangkan diri. Kuraih gagang pintu besi di depanku. Dapat kudengar suara jantung milikku sendiri yang berdetak begitu kencang. Apa mungkin di dalam ada dia dan kekasihnya ? Apa dia membenciku ? Atau jangan – jangan dia melupakanku ? Kugelengkan kepalaku kuat – kuat untuk menghilangkan segala pikiran buruk. Jika memang itu semua terjadi, aku juga tak bisa melakukan apapun. Akulah yang salah dan akulah yang menyebabkan perpisahan kami. Akulah yang begitu egois karena menginginkannya kembali. Tapi, aku benar – benar tak bisa mengontrol segalanya. Dia adalah cahayaku dan aku mencintainya. Aku tak dapat hidup tanpa cahaya dan cintaku. Aku membutuhkannya untuk hidupku.

But this is me swallowing my pride
Standing in front of you saying, “I’m sorry for that night.”
And I go back to December…
It turns out freedom ain’t nothing but missing you,
Wishing I’d realize what I had when you were mine.
I’d go back to December, turn around and make it all right.
I’d go back to December, turn around and change my own mind

“Im Yoona ?” Kudengar sebuah suara dari belakang tubuhku. Suara yang sangat kurindukan. Suara miliknya.

Kugigit bibir bagian bawahku dan dengan cepat kubalikkan badanku menghadapnya. Dia berdiri tak jauh dariku dengan wajah terkejut. Namun perlahan dapat kulihat keterkejutannya semakin menipis dan berganti dengan kelembutan. Dia menatapku dalam dan lembut. Sebuah senyuman pun ia sunggingkan padaku. Senyuman sehangat matahari dan selembut salju.

Aku tak bisa mencegah tubuhku untuk memeluknya. Kulangkahkan kakiku menghampirinya dan dengan segera kurengkuh tubuh itu. Untuk kesekian kalinya aku menangis di depannya. Dia mengelus pelan rambutku kemudian membalas pelukanku. Tangannya masih sama, hangat dan menenangkan. Dalam sekejap aku terhanyut dan melupakan seluruh tujuanku bertemu dengannya. Hingga akhirnya aku tersadar…aku hanya ingin mengatakan hal singkat ini padanya. Aku hanya ingin mengatakan…

“Aku mencintaimu, Lee Donghae.”

THE END

0 komentar:

Posting Komentar